Siasati Harga Hunian yang Kian Mahal, Co-Living Bisa jadi Pilihan

SIASATI HARGA HUNIAN YANG KIAN MAHAL, CO-LIVING BISA JADI PILIHAN

Setelah tren co-working space (ruang kerja bersama untuk berkolaborasi) mulai diterima pasar dengan baik di Indonesia, pebisnis properti harus bersiap-siap dengan perkembangan tren berikutnya.

Konsultan properti Jones Lang LaSalle mencermati salah satu tren yang prospektif bagi bisnis properti di masa mendatang. Yakni, co-living (tempat tinggal bersama, lazimnya di dalam kota untuk melanjutkan atau memudahkan kolaborasi).

Tren ini muncul untuk menyiasati harga hunian yang makin mahal dan gaya hidup milenial yang suka berkolaborasi. Co-living menyediakan unit tempat tinggal seperti apartemen dengan mengedepankan fasilitas bersama seperti ruang kerja,  living room dan dapur untuk semua penghuni. Sementara unit apartemennya hanya memuat sebuah tempat tidur dan lemari berukuran lebih kecil dari tipe studio.

“Mirip konsep kos-kosan. Jadi, unit apartemen hanya kamar untuk tidur saja. Sedangkan pantry dan living room di luar untuk dipakai bersama-sama,” kata Vivin Harsanto, Head of Advisory PT Jones Lang Lasalle Indonesia.

Menurut dia, generasi milenial menyukai kehidupan yang lebih kompak di apartemen dibandingkan rumah tapak. Apalagi kalau lokasinya dekat dengan tempat bekerja dan transportasi publik.Kaum milenial senang berbagi (sharing) dan berkolaborasi. Selain itu banyak dari mereka yang ingin punya usaha sendiri. Co-living bisa memenuhi kebutuhan itu.

Co-living juga bisa menjadi sarana untuk melanjutkan kolaborasi di co-working space yang waktunya terbatas. Jadi, co-living menjadi tempat tinggal bersama sementara sampai kolaborasi selesai, kemudian digantikan penghuni lain untuk kolaborasi yang berbeda. Co-living sendiri bisa juga menyediakan co-working.